Ini Dia, Paradigma Filsafat Sains Terhadap Deras Kemajuan AI

Ini Dia, Paradigma Filsafat Sains Terhadap Deras Kemajuan AI

Jakarta

Tren kecerdasan buatan (AI/Artificial Intelligence) yang terkait dengan filsafat sains bertujuan untuk memberikan dampak positif yang nyata bagi Indonesia, bukan hanya mengikuti tren sesaat yang sedang populer di Amerika Serikat dan China.

Dimitri Mahayana, seorang dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa ada lima paradigma filsafat sains yang akan menjadi dasar bagi perkembangan AI. Paradigma ini dimulai dari eksperimen berbasis pengukuran (positivisme logis), yang kemudian berkembang menjadi realisme kritis, di mana AI dipandang sebagai konstruksi sosial yang memerlukan sikap kritis dalam penerapannya.

“Selanjutnya, kita akan memasuki paradigma interpretivisme, di mana AI akan berkembang sesuai dengan narasi yang kita bangun. Dari sinilah muncul postmodernisme yang menunjukkan bahwa AI dapat menjadi bagian dari hegemoni yang memperkaya orang kaya, dan akhirnya berujung pada paradigma pragmatisme yang lebih menekankan pada nilai-nilai material,” ungkap Dimitri dalam sebuah “Kuliah Umum Filsafat Sains AI: Singularitas, Hype atau Realitas, dan Strategi untuk Indonesia” yang diadakan di Aula Timur ITB pada Rabu (4/12/2024).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan bahwa melalui paradigma tersebut, muncul pemikiran “MINMAX”, yang berarti meminimalkan risiko AI sekaligus memaksimalkan nilai manfaatnya bagi Indonesia. Paradigma MINMAX AI ini mencakup enam elemen penting agar AI tidak hanya menjadi hype.

Enam elemen tersebut meliputi:

  • M untuk Manfaat, yang menekankan bahwa AI harus memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
  • I untuk Indonesia, yang berarti Indonesia tidak sekadar mengikuti hegemoni AI global, tetapi menjadi pusat AI bagi dirinya sendiri.
  • N untuk Narasi, yaitu membangun narasi positif seperti konsep AII (Akal Inspiratif Indonesia), di mana AI berpihak pada masyarakat kecil, merdeka, berkeadilan, dan mampu menyejahterakan bangsa.
  • M berikutnya untuk Mengukur, yang bertujuan menciptakan ukuran evaluasi AI yang relevan dengan Indonesia melalui kolaborasi antara pemerintah, bisnis, dan akademisi.
  • A untuk Aman, yang mencakup penanganan isu-isu terkait keamanan data, bias, transparansi, akurasi, fairness, halusinasi, dan lainnya.
  • X untuk X Factor, yang mengakui bahwa masa depan AI adalah variabel X yang selalu berubah dan tidak sepenuhnya diketahui.

“Sangat sulit untuk memprediksi bagaimana pengembangan AI yang bergerak begitu cepat dan fenomenal ini. Oleh karena itu, kita harus terus berpikir kritis dan melakukan refleksi diri dalam menghadapi perubahan yang dibawa oleh AI, sesuai dengan lima paradigma filsafat sains,” kata Dimitri, yang juga merupakan penulis buku Filsafat Sains dan Apakah Silikon Bisa Menangis? yang diterbitkan oleh Penerbit ITB pada tahun 2024.

Agus Nggermanto, yang dikenal sebagai Paman Apiq, seorang Youtuber literasi numerasi dengan 512 ribu pengikut, mengaitkan AI dengan kisah Phaeton, putra Dewa Helios, yang diangkat penulis ternama Yuval Noah Harari dalam karyanya yang terbaru.

“Phaeton ingin mengemudikan kereta matahari meskipun telah diberi tahu tentang risikonya. Ia tidak mampu mengendalikannya, membuat bumi menjadi terlalu dingin dan kadang terlalu panas karena pergerakan matahari yang tidak stabil. Beruntung, Dewa Zeus mengetahui hal itu dan menghentikan kereta dengan petir. AI bisa seperti kereta matahari itu, bergerak tak terkendali dan bisa mengakibatkan kerusakan serius,” ujarnya.

Di sisi lain, pandangan yang berbeda diungkapkan oleh Ray Kurzweil, seorang futurolog teknologi asal AS, dalam dua buku terkenalnya, The Singularity is Near (2005) dan The Singularity is Nearer (2024). Menurutnya, kolaborasi antara mesin seperti AI dan manusia akan membentuk satu kesatuan atau singularitas yang menghasilkan kecerdasan yang jauh lebih tinggi.

Ia bahkan memperkirakan bahwa pada tahun 2029, AI akan lebih cerdas daripada otak manusia, dan pada tahun 2045, kolaborasi keduanya akan mampu menaklukkan alam semesta. Kurzweil juga menyatakan bahwa teknologi pada akhirnya akan memiliki kesadaran spiritual, seperti yang dijelaskan dalam bukunya The Age of Spiritual Machine (1999).

“Namun, hingga saat ini, kita masih belum menyaksikan adanya kesadaran spiritual pada AI. Selain itu, teknologi juga belum dapat mengatasi masalah-masalah seperti pencemaran lingkungan, krisis iklim, pengangguran, dan berbagai gangguan psikologis. Pandangan ini terlalu optimis, dan terbukti bahwa Hukum Moore dari transistor tidak membawa teknologi menuju singularitas,” kata penulis Kecerdasan Kuantum (2005) tersebut.

Paman Apiq melanjutkan, Nick Bostrom, seorang filsuf dari Oxford, Inggris, dalam bukunya Deep Utopia (2024) mengemukakan pandangan moderat. Ia berpendapat bahwa meskipun AI dapat mengakibatkan hilangnya banyak pekerjaan, kekuatan yang sama juga dapat membuka peluang baru di luar model pekerjaan tradisional. Dalam konteks ini, manusia dituntut untuk memaksimalkan kualitas peluang yang ada sebagai strategi untuk membantu pekerja di tengah tren otomatisasi yang semakin pesat.

“Dalam banyak karya, terutama dari Harari, ia berhasil mengkritisi AI tetapi gagal memberikan solusi yang nyata. Harari bahkan secara implisit merekomendasikan pemimpin untuk menjadi ‘predator’ dunia. Padahal, etika dan moralitas adalah yang paling utama; jika AI mendorong kita untuk berperilaku baik dan menghormati orang tua, maka kita harus mengikutinya, tetapi jika tidak, kita harus mengabaikannya,” ungkapnya.

Dekan STEI ITB, Tutun Juhana, menyatakan bahwa AI adalah kemajuan teknologi terkini yang dianggap sebagai salah satu capaian terbesar dalam bidang sains dan sangat berpengaruh di seluruh dunia.

“STEI ITB bersama seluruh jajarannya, termasuk dosen, peneliti, dan mahasiswa, akan berkomitmen penuh untuk mendukung kemajuan sains dan teknologi ini,” tambahnya.

Pengalaman Industri

Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI, Arga M Nugraha, menjelaskan bahwa AI berbeda dari tren teknologi sebelumnya, seperti Metaverse, Google Glasses, dan Blockchain, yang sempat meroket namun kemudian meredup. AI lebih nyata dan fungsional, sehingga manfaatnya terasa lebih besar, tetapi masyarakat tetap perlu bersikap proporsional terhadapnya.

“Kita harus melihat dengan jernih, bagaimana nilai dari AI yang ada di depan kita. AI adalah alat; ia tidak menggantikan posisi manusia, tetapi di BRI, fungsinya adalah untuk meningkatkan kemampuan karyawan kami,” tambahnya.

Arga, yang juga Ketua Project Management Office (PMO) AI di Kementerian BUMN, melanjutkan bahwa secara filosofis, masyarakat tidak boleh bertindak seperti anak kecil yang menemukan palu dan langsung menggunakan untuk segala hal. AI tidak bisa diterapkan secara sembarangan, karena ia bukan solusi untuk semua masalah yang dihadapi publik.

Namun demikian, banyak BUMN yang telah berhasil menerapkan AI secara efektif, seperti PLN yang menggunakan GenAI untuk pemeliharaan jaringan, Jasa Marga dengan sistem manajemen kecelakaan, AirNav untuk deteksi objek yang mengotori landasan pesawat, dan BRI dengan chatbot humanis bernama Sabrina untuk melayani nasabah.

Budi Sulistyo, Senior Expert di Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, menekankan bahwa keseimbangan dalam penerapan AI sangat penting. Menurut Judea Pearl dalam bukunya The Book of Why (2018), LLM (Large Language Model) memiliki kelemahan yang cukup signifikan. “LLM hanya sebatas korelasi, sementara analisis kausalitas adalah ranah intelektualitas manusia,” katanya.

*) Dr. Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital Public Relations Telkom University

(nwk/nwk)